Tuesday, October 27, 2009

Kita Makin Takabur

HARI-HARI ini kita berada dalam suasana Hari Sumpah Pemuda. Hari yang amat bersejarah dalam sejarah perpolitikan nasional. Kita tahu baik, pada 28 Oktober 1928 para pemuda secara gegap gempita mengikrarkan tekadnya yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda.
Mereka mengangkat sumpah dengan formulasi bahasa yang amat sederhana. Menggunakan diksi yang mudah dicerna, namun sarat makna, sarat pesan. Mereka berikrar, Berbangsa Satu Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa Indonesia, dan Bertanah Air Yang Satu, Tanah Air Indonesia.

Tekad itu mereka usung untuk melecutkan semangat perjuangan bangsa ini, membakar spirit kaum muda untuk bangkit melawan penjajah, melawan imperialisme dan kolonialisme yang bercokol di tanah pertiwi, yang membelenggu kebebasan anak-anak negeri ini.

Itu peristiwa bersejarah yang terjadi 81 tahun silam. Peristiwa yang hingga kini terpahat indah dalam sanubari setiap orang, terukir indah dalam benak setiap hati, yang tak melupakan torehan sejarah pada zaman perjuangan dulu.

Saat itu, tatkala bangsa ini dalam kondisi terpuruk akibat penjajahan, semua orang merasa terpanggil untuk membela negara. Semua orang berjuang dan terus berjuang hingga titik darah penghabisan. Mereka bertarung dengan bambu runcing, bertarung dengan senjata yang ada adanya untuk mengusir penjajah. Selama hayat masih dikandung badan, mereka tak berhenti berjuang, demi membebaskan Indonesia dari tindasan kolonial.

Sekarang, kita menikmati hasilnya. Bahkan sudah puluhan tahun lamanya, kita telah mengecapi nikmatnya kemerdekaan, hasil perjuangan mereka dulu. Bahkan di antara kita, ada yang juga telah membangun kemegahan, membangun kepongahan, membangun ketamakan di atas darah dan air mata para pejuang. Kita menyisihkan tujuan perjuangan pendahulu, yang menghantar bangsa ini ke gerbang kemerdekaan dengan taruhan nyawa.

Sebagai contoh, kasus korupsi terus terjadi di negeri ini. Dari pusat sampai ke daerah, masih banyak pejabat yang rajin mengumpulkan harta dengan cara-cara yang melanggar hukum, melanggar aturan yang berlaku. Para pejabat yang diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat, malah sebalikmya melakukan aksi yang tidak pada tempatnya.

Begitu juga kaum muda yang diharapkan sebagai penerus bangsa ini, malah terjerumus dalam hal-hal yang kontraproduktif. Tak sedikit anak-anak kita masuk dalam perangkap narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Masih banyak lagi contoh kasus yang memperlihatkan karakter anak muda kita, yang sudah dan semakin takabur dalam bingkai teks sumpah pemuda.

Jika dulu para pemuda menyatukan visi misi, menyatukan tekad merebut kemerdekaan dari tangan penjajah demi masa depan bangsa dan negara ini, saat ini justeru kita telah larut dalam perilaku yang mencederai sumpah pemuda itu sendiri.
Bila dulu para pejuang menyatukan bangsa ini dengan satu bahasa, yakni bahasa Indonesia, saat ini kita justeru lebih senang menggunakan bahasa orang lain. Kita merasa lebih terhormat, lebih bermartabat, lebih pintar dan lebih gaul, apabila menggunakan istilah-istilah asing. Kita lupa bahwa untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, para pendahulu memperjuangkannya dengan jiwa dan raga.

Kita lupa bahwa pada masa lalu, pemerintah kita telah menjadikan bulan Oktober sebagai bulan bahasa. Bahkan itu masih berlaku sampai sekarang.
Sayangnya, kita tidak menyadari hal tersebut. Kita justeru cenderung membudayakan bahasa asing dalam pergaulan kita. Kita lebih suka mempopulerkan bahasa asing ketimbang kekayaan bahasa yang kita miliki. Kita juga lebih suka menggunakan bahasa serapan daripada bahasa yang kita miliki.

Contoh itu mudah didapat. Saat seminar, misalnya, para pembicara dengan gayanya menggunakan istilah-istilah asing (bahasa Inggris). Mungkin hal itu untuk gagah- gagahan, supaya bisa dibilang pintar. Tapi mereka lupa bahwa cara itu sesungguhnya melukai rasa bahasa yang kita miliki.

Entah sampai kapan sandiwara ini berlangsung. Tapi jika para cerdik cendekia, para pejabat, para akademisi, dan para pemuda, belum menyadari ketimpangan tersebut, maka nasib bahasa Indonesia tentu akan semakin suram. Karena itu, melalui momentum Hari Sumpah Pemuda tahun 2009 ini, kita kembali menyatukan tekad untuk menyudahi hal-hal yang berbau asing. Saatnya kita gunakan kekayaan yang ada pada kita. *

No comments:

Post a Comment