Thursday, April 29, 2010

Keprihatinan Setelah UN 2010

SEORANG murid Sekolah Menengah Atas (SMA) bunuh diri di Jambi. Ratusan pelajar mengamuk dengan cara merusak sekolah mereka di Maluku Utara. Dua peristiwa itu terjadi setelah hasil Ujian Nasional SMA/MA/SMK diumumkan. Siswa yang bunuh diri dan yang mengamuk itu adalah bagian dari mereka yang dinyatakan tidak lulus.

Menurut evaluasi Departemen Pendidikan Nasional, ada 267 SMA/MA/SMK --terdiri atas 51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta-- yang tak ada satu pun siswanya lulus Ujian Nasional 2010. Atau, setidaknya, 7.648 dari 16.467 peserta UN SMA/MA/SMK di Tanah Air yang tidak lulus Hasil UN 2010 dan harus mengikuti ujian ulangan.

Menurut evaluasi tersebut, sekolah dengan angka kelulusan nol persen terbanyak terdapat di Kalimantan Timur yakni 39 sekolah (1.158 siswa), Sulawesi Tenggara 26 sekolah (768 siswa), Kalimantan Tengah 20 sekolah (701 siswa), Maluku Utara 20 sekolah (597 siswa).

Secara sekilas, angka-angka statistik itu mungkin tak berarti apa-apa bagi banyak orang. Ia hanya menunjukkan tentang berapa siswa yang berhasil dan berapa yang gagal.

Namun jadi masalah antara hidup dan mati ketika dihadapkan pada seorang siswa yang tak mampu menanggulangi perasaannya, sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidup sebagaimana yang terjadi di Jambi.

Angka itu juga jadi pemicu kemarahan yang berujung pada pengrusakan, manakala para pelajar tak siap menerima kenyataan bahwa dirinya gagal, sebagaimana terjadi di Maluku Utara.

Orang boleh saja menyatakan bahwa apa yang terjadi di Jambi dan Maluku Utara hanya ekses. Hanya satu dua kasus. Ya, dibanding 7.648 siswa yang tidak lulus, maka satu siswa yang bunuh diri, dan seratusan yang mengamuk, mungkin tak berarti apa-apa. Namun, apa pun dalihnya, nyawa seorang manusia terlalu berharga untuk ditukar dengan nilai kelulusan.

Para penentu kebijakan pendidikan boleh beragumentasi dan berdebat panjang mengenai pentingnya standardisasi mutu hasil pendidikan dalam upaya menyetarakan diri dengan tantangan dan kemajuan zaman. Namun kenyataan di lapangan, persoalan dasar terkait peningkatan mutu pendidikan tidaklah serentak dilakukan.

Demi menjaga mutu, pelaksanaan UN tak ubahnya sebagai peristiwa genting sehingga perlu pengawalan dan pengawasan polisi, sejak dari pengiriman berkas sampai ke pelaksanaan ujian. Unsur pendidikan, tiba-tiba jadi kegiatan yang rentan tindak kriminal, sehingga perlu kehadiran aparat hukum. Hasilnya, sebagaimana kita ketahui bersama, hampir separo atau 46 persen lebih peserta UN tidak lulus!

Angka statistik kelulusan itu juga menunjukkan, bahwa sekolah di luar Jawa tidak bisa mengejar yang di Jawa. Hasil UN itu hanya memperteguh kenyataan bahwa pembangunan di luar Jawa tetap tertinggal. Bahwa kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa tetap menganga.

Satu dasawarsa setelah reformasi, tak tampak ada perubahan penting yang mempersempit celah kesenjangan itu. Kaum terdidik dan para elite jauh lebih sibuk mengurusi kepentingan diri, kelompok, dan golongannya. Melupakan aspek terpenting dalam kelangsungan alih generasi bangsa ini.

Pendidikan dan berbagai aspeknya tampaknya diletakkan pada porsi yang biasa-biasa saja sebagaimana bidang lain. Ia tidak dilihat sebagai unsur terpenting dalam menyiapkan masa depan bangsa ini ke dalam kehidupan yang jauh lebih baik, bersih, dan beradab.

Padahal semestinya kita kembali pada kesepakatan awal, bahwa pendidikan dilakukan demi membangun generasi baru yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Pendikan bukan semata-mata jadi instrumen pencapaian strata untuk setara dengan kebutuhan kapital, pasar bebas, persaingan bisnis antarnegara yang sama sekali tak memerlukan budi pekerti. (*)

No comments:

Post a Comment